Masa remaja adalah masa yang paling rentan dalam fase pencarian jati diri. Emosi yang labil, menjadikan remaja sulit untuk menangkal pengaruh-pengaruh yang ada di sekitarnya. Meskipun pengaruh tersebut bernilai negatif.
Berbagai fakta telah menunjukkan pada kita aktifitas-aktifitas remaja yang menyimpang norma. Problematika dan permasalahan kekinian mendera kalangan remaja, seperti tawuran dan kriminalitas, seks bebas, penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (Napza), minuman keras, penyebaran penyakit HIV/AIDS dan penyakit menular, dll.
Pada tahun 2008 berdasarkan laporan Polri secara keseluruhan, jumlah anak-anak dan remaja pelaku tindak kriminalitas sebanyak 3.280 orang, meningkat sebesar 4,3 persen dibandingkan tahun 2007 yang sebesar 3.145 orang. (http://www.kemenpora.go.id). Di Amerika, negara budaya bebas terdapat 3,2 juta remaja Amerika yang berumur 14-19 tahun, terjangkit penyakit menular seksual, dan angka tersebut secara prosentase telah mencakup 26% dari jumlah total remaja perempuan di usia tersebut (Penanggulangan Penyakit dan Pencegahannya (CDC)). Sementara di dalam negeri, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2010 menyebutkan, sebanyak 32 persen remaja usia 14 hingga 18 tahun di sejumlah kota besar di Indonesia seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya pernah berhubungan seks (www.beritajakarta.com). Dan sebanyak 3,2 juta remaja lagi menjalani aborsi yang tidak aman (Berita online Gereja Katolik Indonesia).
Penyalahgunaan narkoba juga marak. Prevalensi penyalahgunaan narkoba dalam penelitian BNN dan Puslitkes UI, pada 2005 terdapat 1,75 persen pengguna narkoba dari jumlah penduduk di Indonesia. Prevalensi itu naik menjadi 1,99 persen dari jumlah penduduk pada 2008. Tiga tahun kemudian, angka sudah mencapai 2,2 persen. Pada 2012, diproyeksikan angka sudah mencapai 2,8 persen atau setara dengan 5,8 juta penduduk (Kompas.com, 31/10/2012). Sebanyak 50 – 60 persen pengguna narkoba di Indonesia adalah kalangan pelajar dan mahasiswa.
Buah Pendidikan Sekular
Kondisi tersebut merupakan buah yang harus dipetik dari penerapan sistem pendidikan di negeri ini. Sistem pendidikan sekular kapitalis telah mengabaikan aspek pembentukan kepribadian dan karakter siswa. Sekolah sebagai institusi pendidikan alih-alih mencetak remaja yang berkualitas yang memiliki kepribadian yang kuat, namun justru menghasilkan remaja yang menciptakan banyak masalah.
Kondisi ini dapat tergambar dari kasus dari laporan kecurangan UN 2012 yang diterima oleh Posko Pengaduan UN. Dari 1.500 laporan, 775 merupakan laporan kebocoran ataupun kecurangan saat ujian.
Pada tataran praktis pun, pendidikan nasional dihadapkan pada persoalan yang bersumber dari lemahnya peran pengawasan Pemerintah. Hal itu tampak jelas dari munculnya sejumlah buku (LKS) Lembar Kerja Siswa untuk SD di beberapa sekolah yang memuat teks atau ilustrasi yang tidak pantas untuk murid-murid SD; keterlibatan sejumlah murid dalam perbuatan asusila di lingkungan sekolah dan tindak kekerasan; serta berbagai kejadian yang sangat menyesakkan dada seperti kasus pelecehan seksual di sekolah internasional JIS, terpaparnya sepuluh murid SD di Situbondo dengan HIV/AIDS, dan sebagainya.
Berkali-kali berganti kurikulum, berkali-kali pula kualitas pendidikan tak semakin membaik bahkan justru membingungkan subjek dan objek yang terlibat dalam dunia pendidikan itu sendiri. Terakhir adalah adanya penerapan kurikulum 2013 (K13) yang tampaknya belum siap diterapkan, hingga di kepemimpinan Presiden Jokowi saat ini, Indonesia harus menggunakan dua kurikulum sekaligus yang diterapkan pada pendidikan dasar hingga menengah, yakni K13 dan kurikulum 2006 (KTSP).
Selain itu, semakin dekatnya MEA semakin memperlihatkan bahwa pemerintah menjadikan remaja atau pelajar sebagai komoditi ekonomi. Focus pemerintah kini berada pada itung-itungan berapa besar untung dan rugi. Sehingga wajar jika pelatihan skill lebih diutamakan dalam pendidikan dasar hingga menengah dari pada pemahaman keilmuan secara akademik. Hal inilah yang akan menjadikan sebagian besar lulusan masyarakat Indonesia cukup puas sebagai pekerja sebagaimana skill yang dimiliki bukan sebagai pencipta peluang kerja.
Faktor lainnya yang turut menghancurkan dunia pendidikan di Indonesia adalah maraknya korupsi di dunia pendidikan mulai pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, desa, termasuk yang terjadi di sekolah-sekolah. Secara nominal pada tahun 2012 ini anggaran pendidikan meningkat menjadi Rp 286,56 triliun atau sekitar 20,20 persen dari total APBN Rp 1.418,49 triliun (tahun 2011 anggaran pendidikan Rp 248,98 triliun atau 20,25 persen dari total APBN Rp 1.229,56 triliun). Lalu berapa persen anggaran yang betul-betul termanfaatkan untuk meningkatkan pendidikan?
Lihatlah, masih banyak gedung-gedung sekolah yang sudah tidak layak dipergunakan sebagai tempat belajar karena tinggal menunggu roboh. Tentu selain tidak nyaman untuk belajar, juga dikhawatirkan bakal roboh. Padahal untuk menciptakan generasi yang cerdas dan berkepribadian Islam, selain kurikulum yang diajarkan juga fasilitas sekolah yang harus memadai.
Islam; Konsep Sistem Pendidikan Sempurna
Sebenarnya potret pendidikan remaja Indonesia tidaklah semuanya hitam, tidak sedikit prestasi yang dipersembahkan oleh generasi muda tersebut. Mereka sukses di berbagai perlombaan internasional. Potensi itu akan semakin berkembang jika perhatian Pemerintah terhadap dunia pendidikan itu lebih baik lagi, sementara sistem pendidikan yang ada sejatinya tidak lagi dilandasi prinsip kapitalisme sekular, tetapi didasarkan pada sistem pendidikan Islam.
Dr. Arim Nasim, dosen UPI menyatakan bahwa kegagalan sistem pendidikan nasional tampak dari input, proses, dan output-nya. Islam dapat memecahkan segalah masalah akibat system pendidikan yang karut-marut di Indonsia. sistem pendidikan Islam ini bukan berarti hanya diperuntukkan umat Islam atau berorientasi akhirat semata. Non-muslim sebagai warga negara berhak mendapatkan pendidikan yang sama. Manusia, khususnya umat Islam, sangat dianjurkan menguasai ilmu dan teknologi dalam mempermudah setiap urusan keduniawian. Ini juga telah dibuktikan pada era keemasan Kekhilafahan Umayyah, Abbasiyah, dan Ustmaniyah. Pada masa itu ilmu dan teknologi di dunia Islam sangat maju, sedangkan Eropa dalam masa kegelapan.
Dalam Islam, suksesnya pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara individu, masyarakat dan negara, tapi pembiayaan pendidikan sepenuhnya tanggung jawab negara. Terjadi sinergis yang kuat antara individu, masyarakat dan negara.
Berbeda dengan sistem pendidikan nasional saat ini yang berasaskan sekulerisme dan liberalisme. Sistem pendidikan sekarang tidak terjadi sinergis antara tiga peran fungsional pendidikan tersebut.
Pembiayaan pendidikan nasional pada saat ini dibebankan pada tiga pihak, yakni individu (peserta didik), masyarakat dan Negara, dengan beban terbesar ditanggungkan pada peserta didik sebagai ‘penikmat’ fasilitas dalam pendidikan yang diperolehnya. Hal yang berbeda pada system pendidikan Isam, dimana pembiayaan pendidikan dalam Islam terkait dengan politik ekonomi. Politik ekonomi Islam mewajibkan negara untuk memenuhi kebutuhan pokok individu (sandang, pangan dan papan ) dan kebutuhan pokok masyarakat (kesehatan, keamanan dan pendidikan ) secara menyeluruh.
Pendidikan dalam sistem Islam wajib diselenggarakan oleh negara dengan biaya semurah-murahnya, bahkan gratis. Sumber-sumber pembiayaan pendidikan dalam Islam diambil dari pengelolaan negara atas kepemilikan umum berupa sumberdaya alam tambang, minyak, gas, kelautan, kehutanan, dan sebagainya. Islam melarang pengelolaan sumberdaya alam pada asing. Sumber-sumber pembiayaan pendidikan lain dapat diambil dari harta milik negara, Badan Usaha Milik Negara (BUMN), ghanîmah, kharaj, fai, jizyah, dan tebusan tawanan perang, zakat, infak, wakaf, sedekah, dan hadiah. Pajak merupakan pendapatan alternatif terakhir atau bersifat insidentil (temporal) dan hanya dipungut pada orang kaya.
Maka untuk menghasilkan generasi yang cerdas dan cemerlang perlu adanya penerapan system yang sempurna dalam suatu institusi. Tidak hanya pada bidang pendidikan, tapi juga di bidang kesehatan, keamanan, hukum, ekonomi, politik dan di seluruh aspek kehidupan. Dan system sempurna tersebut adalah syariat Islam yang hanya terdapat dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah, satu-satunya system dari Allah Al Kholiq Al Mudabbir yang akan mampu mencetak generasi Al Fatih berikutnya. Wallahu a’lam. [me]