Kemarin,
tepatnya tanggal 28 Juni 2012 dini hari waktu Indonesia, di Donetsk, Ukraina,
tim matador Spanyol berhasil melenggang ke babak puncak euro cup 2012.
Dalam pertandingan melawan Portugal tersbut, Spanyol cukup kewalahan meladeni
permainan dari Portugal. Hingga pada menit ke-90 plus dua kali tambahan waktu
15 menit, usaha kedua tim tak membuahkan hasil. Skor imbang kacamata alias 0-0
bertahan. Dan puncaknya kemenangan Spanyol diperoleh melalui tendangan pinalti
dengan skor akhir 4-2. Sontak euforia tim matador beserta suporternya membahana
di stadion Donbass Arena, Donetsk, Ukraina.
Tapi
bukan itu yang akan saya bahas di sini. Yang akan saya bahas dalam tulisan saya
kali ini mengenai pernyataan dari salah satu wartawan stasiun televisi nasional
yang menyatakan bahwa “Pala Eropa (Sepak Bola) telah menyatukan setiap ummat di
dunia” dan “Piala Eropa bukan lagi milik masyarakat benua Biru –julukan Benua
Eropa- melainkan juga untuk seluruh penduduk dunia, termasuk Asia”. Sedikit
penggalan pernyataan tersebut membuat saya sangsi. Benarkah hal itu?
Pernyataan
tersebut muncul ketika wartawan tersebut menjumpai dan mewawancarai beberapa
penonton pertandingan semi final tersebut yang berasal dari Asia (Jepang,
China, dan sekitarnya). Antusiasme dari pendukung kedua kesebelasan (Spanyol
dan Portugal) sangat terlihat dari atribut yang mereka kenakan untuk mendukung
tim favoritnya, mulai dari jersey tim hingga coretan bergambar bendera tim
favorit di wajahnya. Sehingga wartawan tersebut menyimpulkan bahwa gelaran
akbar nomor wahid ini mampu menyatukan umat dari belahan dunia manapun, tak
hanya benua biru saja. Sehingga isu rasisme yang pernah muncul di awal turnamen
ini dapat dipatahkan.
Kembali
pada pertanyaan saya, “Benarkah Euro Cup (atau pagelaran sepak bola yang
lainnya) dapat menyatukan ummat sedunia?” Mungkin dalam satu sisi iya. Karena
di dalam stadion sepak bola pasti terdapat banyak orang mulai dari pemain sepak
bola maupun penontonnya yang mana kadang mereka berasal tidak dari satu wilayah
yang sama. Jika itu jawabannya, mungkin benar.
Tapi faktanya, pagelaran2
sepak bola justru memunculkan sekat-sekat antar ummat. Lihat saja pertandingan
antara Indonesia vs Malaysia di seagames 2011 lalu. Pendukung tim Indonesia dan
Malaysia saling beradu mulut hingga menimbulkan perpecahan karena pada saat
itu, diduga kemenangan tim Malaysia atas Indonesia dikarenakan pendukung
Malaysia menyemprotkan gas air mata kepada pemain timnas Indonesia, sehingga
penglihatan mereka terganggu.
Hal tersebut justru menjadikan
negeri2 muslim terpecah belah. Coba kita perhatikan. Ketika ada momen sepak
bola apa lagi antar negara, pasti satu negara dengan negara yang lainnya akan
saling memuja tim favorit masing-masing. Hal tersebut membuat para pendukung
amsing-masing tim melakukan pembelaan bagi tim favorit mereka. Muali dari
menyanyikan yel-yel penyemangat hingga saling cela antara para pendukung.
Padahal tak sedikit dari mereka akidah yang sama (seharusnya) jika dilihat dari
agamanya (Islam).
Itu semua karena efek
nasionalisme (ikatan kebangsaan). Ikatan inilah yang secara sengaja atau pun
tidak memaksa manusia untuk berkorban hingga hidup dan mati pun demi
mempertahankan negerinya. Padahal ikatan ini malah menimbulkan banyak hal
negatif bagi orang-orang yang “mengidolakannya”. Loyalitas tanpa batas katanya.
Hhmm masak sih? Apakah mati sia-sia dikeroyok sesama pendukung sepak bola dapat
dikatakan sebagai bukti loyalitas tanpa batas? Oh no! Jangan gila deh!
Ikatan nasionalisme seharusnya
tidak layak dijadikan sebagai pemersatu di tengah-tengah umat. Hal tersebut
dikarenakan ikatan ini memiliki banyak kelemahan. Diantaranya, syaikh Taqiyudin
An-Nabhani dalam kitabnya Nidzamul Islam (Peraturan Hidup Dalam Islam)
menuliskan bahwa ikatan nasionalisme merupakan ikatan yang rusak karena tiga
hal:
1) karena mutu ikatannya
rendah, sehingga tidak mampu mengikat antara manusia satu dengan yang lainnya
untuk menuju kebangkitan dan kemajuan.
2) Karena ikatannya bersifat
emosional, yang selalu didasarkan pada perasaan yang muncul secara spontan dari
naluri mempertahankan diri, yaitu untuk membela diri. Di samping itu ikatan
yang bersifat emosional sangat tidak bisa dijadikan ikatan yang langgeng antara
manusia satu dengan yang lain.
3) Karena ikatannya bersifat
temporal, yaitu muncul saat membela diri karena datangnya ancaman. Sedangkan
dalam keadaan stabil, yaitu keadaan normal, iaktan ini tidak muncul. Dengan
demikian, tidak bisa dijadikan pengikat antara sesama manusia.
Mari sama-sama kita renungkan
3 hal di atas. Betul apa benar?? Nasionalisme akan memuncak ketika ada even
tertentu. Sepakbola, sea games, dan semuanya yang berbau kompetisi. Tapi ketika
semua even tersebut usai, masi adakah rasa nasionalisme? Masih adakah pembelaan
menggebuh-gebuh atas negara??
Tidak ada komentar:
Posting Komentar