Laman


Click here for Myspace Layouts

Laman

Senin, 02 Juli 2012

Sepak Bola, Ajang Pemersatu Umat?



            Kemarin, tepatnya tanggal 28 Juni 2012 dini hari waktu Indonesia, di Donetsk, Ukraina, tim matador Spanyol berhasil melenggang ke babak puncak euro cup 2012. Dalam pertandingan melawan Portugal tersbut, Spanyol cukup kewalahan meladeni permainan dari Portugal. Hingga pada menit ke-90 plus dua kali tambahan waktu 15 menit, usaha kedua tim tak membuahkan hasil. Skor imbang kacamata alias 0-0 bertahan. Dan puncaknya kemenangan Spanyol diperoleh melalui tendangan pinalti dengan skor akhir 4-2. Sontak euforia tim matador beserta suporternya membahana di stadion Donbass Arena, Donetsk, Ukraina.
            Tapi bukan itu yang akan saya bahas di sini. Yang akan saya bahas dalam tulisan saya kali ini mengenai pernyataan dari salah satu wartawan stasiun televisi nasional yang menyatakan bahwa “Pala Eropa (Sepak Bola) telah menyatukan setiap ummat di dunia” dan “Piala Eropa bukan lagi milik masyarakat benua Biru –julukan Benua Eropa- melainkan juga untuk seluruh penduduk dunia, termasuk Asia”. Sedikit penggalan pernyataan tersebut membuat saya sangsi. Benarkah hal itu?
            Pernyataan tersebut muncul ketika wartawan tersebut menjumpai dan mewawancarai beberapa penonton pertandingan semi final tersebut yang berasal dari Asia (Jepang, China, dan sekitarnya). Antusiasme dari pendukung kedua kesebelasan (Spanyol dan Portugal) sangat terlihat dari atribut yang mereka kenakan untuk mendukung tim favoritnya, mulai dari jersey tim hingga coretan bergambar bendera tim favorit di wajahnya. Sehingga wartawan tersebut menyimpulkan bahwa gelaran akbar nomor wahid ini mampu menyatukan umat dari belahan dunia manapun, tak hanya benua biru saja. Sehingga isu rasisme yang pernah muncul di awal turnamen ini dapat dipatahkan.
            Kembali pada pertanyaan saya, “Benarkah Euro Cup (atau pagelaran sepak bola yang lainnya) dapat menyatukan ummat sedunia?” Mungkin dalam satu sisi iya. Karena di dalam stadion sepak bola pasti terdapat banyak orang mulai dari pemain sepak bola maupun penontonnya yang mana kadang mereka berasal tidak dari satu wilayah yang sama. Jika itu jawabannya, mungkin benar.
Tapi faktanya, pagelaran2 sepak bola justru memunculkan sekat-sekat antar ummat. Lihat saja pertandingan antara Indonesia vs Malaysia di seagames 2011 lalu. Pendukung tim Indonesia dan Malaysia saling beradu mulut hingga menimbulkan perpecahan karena pada saat itu, diduga kemenangan tim Malaysia atas Indonesia dikarenakan pendukung Malaysia menyemprotkan gas air mata kepada pemain timnas Indonesia, sehingga penglihatan mereka terganggu.
Hal tersebut justru menjadikan negeri2 muslim terpecah belah. Coba kita perhatikan. Ketika ada momen sepak bola apa lagi antar negara, pasti satu negara dengan negara yang lainnya akan saling memuja tim favorit masing-masing. Hal tersebut membuat para pendukung amsing-masing tim melakukan pembelaan bagi tim favorit mereka. Muali dari menyanyikan yel-yel penyemangat hingga saling cela antara para pendukung. Padahal tak sedikit dari mereka akidah yang sama (seharusnya) jika dilihat dari agamanya (Islam).
Itu semua karena efek nasionalisme (ikatan kebangsaan). Ikatan inilah yang secara sengaja atau pun tidak memaksa manusia untuk berkorban hingga hidup dan mati pun demi mempertahankan negerinya. Padahal ikatan ini malah menimbulkan banyak hal negatif bagi orang-orang yang “mengidolakannya”. Loyalitas tanpa batas katanya. Hhmm masak sih? Apakah mati sia-sia dikeroyok sesama pendukung sepak bola dapat dikatakan sebagai bukti loyalitas tanpa batas? Oh no! Jangan gila deh!
Ikatan nasionalisme seharusnya tidak layak dijadikan sebagai pemersatu di tengah-tengah umat. Hal tersebut dikarenakan ikatan ini memiliki banyak kelemahan. Diantaranya, syaikh Taqiyudin An-Nabhani dalam kitabnya Nidzamul Islam (Peraturan Hidup Dalam Islam) menuliskan bahwa ikatan nasionalisme merupakan ikatan yang rusak karena tiga hal:
1)      karena mutu ikatannya rendah, sehingga tidak mampu mengikat antara manusia satu dengan yang lainnya untuk menuju kebangkitan dan kemajuan.
2)      Karena ikatannya bersifat emosional, yang selalu didasarkan pada perasaan yang muncul secara spontan dari naluri mempertahankan diri, yaitu untuk membela diri. Di samping itu ikatan yang bersifat emosional sangat tidak bisa dijadikan ikatan yang langgeng antara manusia satu dengan yang lain.
3)      Karena ikatannya bersifat temporal, yaitu muncul saat membela diri karena datangnya ancaman. Sedangkan dalam keadaan stabil, yaitu keadaan normal, iaktan ini tidak muncul. Dengan demikian, tidak bisa dijadikan pengikat antara sesama manusia.
Mari sama-sama kita renungkan 3 hal di atas. Betul apa benar?? Nasionalisme akan memuncak ketika ada even tertentu. Sepakbola, sea games, dan semuanya yang berbau kompetisi. Tapi ketika semua even tersebut usai, masi adakah rasa nasionalisme? Masih adakah pembelaan menggebuh-gebuh atas negara??



Tidak ada komentar:

Posting Komentar